Kita yang Berakhir Bersama Hari

Disini dingin sekali rasanya.

Padahal, semua sakit ini memeluk ku dengan sangat erat dan tidak memberikanku secelah ruang untuk bernapas. Di kasur yang seharusnya hangat, ku peluk kedua kakikku, ku ringkukkan badanku, berusaha memberi hangat kepada diriku sendiri sambil menahan air mata yang terus saja mengalir di pipiku tanpa permisi.

Tapi sama saja, rasa kosong ini terasa dingin sekali, menusuk hingga relung terdalam tubuhku. Seharusnya, ada seseorang yang bisa memeluk ku saat ini, membagi hangatnya dengan tubuhku dan menularkan senyumnya dengan bibirku.

Wajah rupawannya masih tercetak jelas di otak ku, bersamaan dengan memori itu.

Kepalaku tersa berputar, pandanganku memudar hingga tak ada lagi yang bisa ku pandang selain kegelapan.

Nyanyian ombak menemaniku menyusuri dermaga. Langit sudah menunjukan semburat lembayu nya, dan matahari sudah tak sabar untuk tenggelam di barat sana. Suasana seperti ini sepertinya terlihat indah sekali, bukan? Tapi tidak dengan takdir yang akan aku hadapi beberapa saat lagi.

Lamunan mirisku terhenti dengan tepukan halus sebuah tangan di bahu kanan ku. Wangi candu yang selama 5 tahun ini menjadi penenang menyerbak di hidungku. Tanpa melihatnya pun, aku tahu ini siapa. Seseorang yang seharusnya bisa kukenalkan kepada kalian sebagai pasanganku.

“Kamu seharusnya sudah tau apa yang akan aku sampaikan.” ucapnya dengan wajah bersalah.

Aku tersenyum, mengeluarkan semua tenaga ku untuk terlihat baik-baik saja, menengok ke arah langit cantik di sebelah kiriku, “Lihat, hari sudah akan berakhir, haruskah kita berakhir juga? Aku bukan lagi tempatmu berlabuh.”

Ia terlihat gugup sekali seperti orang bersalah. “Kamu tak apa?” katanya sambil maju selangkah ke arahku. “Jika aku tak apa, mungkin air mata ini tak akan pernah jatuh,” kataku dengan senyum yang sengaja ku lebarkan.

Aku menatapnya, menangkup wajahnya di telapak tanganku dan berkata, “Berjanji akan terus bahagia ya? Melihatmu bahagia, adalah bahagiaku. Walau, senyum itu tak lagi milik ku.” aku berhenti untuk berusaha menahan isakan tangisku.

“Perjalanan ku berakhir di sini. Kamu akan tetap melanjutkan perjalanan, tapi aku tak akan ada lagi di sampingmu.” airmataku sudah tak lagi bisa dibendung, kalimat tadi ku katakan dengan isakkan.

Aku mengusap pipinya lembut, menghapus semua air mata yang membasahi pipinya. “Semoga, di kehidupan selanjutnya, kita berakhir lebih menyenangkan.” kataku dengan senyum paksaan, berharap apa yang kuucapkan tadi menjadi kenyataan.

Ia tetap membeku di tempatnya, dengan air mata yang mengalir deras.

Kucium pipinya untuk yang terakhir kali, ku peluk tubuhnya untuk terakhir kali, dan ku pandang wajahnya untuk yang terakhir kali sambil berdoa kepada semesta agar takdir bisa mengembalikan ku kepadanya, walau sepertinya mustahil.

“Jaga diri baik-baik, aku permisi.” kataku sambil melepaskan dekapanku, berbalik dengan langkah cepat tanpa ada harap untuk menoleh ke belakang walau kudengar suara teriakannya memanggil namaku.

Nafasku terengah-engah. Air mata tetap membasahi pipiku. Lagi-lagi mimpi itu datang menghantui tidurku. Aku memeluk kembali diriku. Melepaskan bukanlah hal yang mudah, dan tak akan pernah mudah. Perasaan ini tetap ada, masih sekuat dulu.

Kulayangkan pandanganku ke langit senja di luar jendela, berharap orang yang ku pikirkan menatap langit yang sama juga, walau bukan lagi aku yang tinggal di pikirannya.

Tinggalkan Komentar